Sayap yang Terkepak Takkan Pernah Patah

Tentang sayap cinta yang tak mengepak dan tak menerbangkan, saya menilai bahwa tulisan Ustadz Anis Matta adalah yang terbaik. Hingga saat ini saya tidak menemukan tulisan yang lebih baik daripada Sayap Yang Tak Pernah Patah itu. Tidak pada milik Ibnu Hazm dengan Untaian Kalung Merpati ataupun Ibnul Qayyim dengan Taman Orang-orang Jatuh Cinta. Tidak pula Musthafa Shadiq Rifa’i dengan Risalah Kesedihan-nya. Secara material, Ustadz Anis Matta menggambarkannya sebagai sebuah konsepsi dan pandangan yang besar tanpa terlalu mendetailisasi pada aspek teknis how to cara mengatasi sebuah kata pedih dalam cinta ini, sayap patah.

“Di alam jiwa,” kata Ustadz Anis Matta, “Sayap cinta itu sesungguhnya tak pernah patah. Kasih selalu sampai disana, ‘Apabila ada cinta dihati yang satu, pastilah ada cinta di hati yang lain,’ kata Rumi, ‘Sebab tangan yang satu tak kan bisa bertepuk tanpa tangan yang lain.’ Mungkin Rumi bercerita tentang apa yang seharusnya. Sementara kita menyaksikan fakta lain.”

Bisa jadi Tuan dan Nyonya adalah salah satu orang yang pernah patah dalam urusan cinta ini. Tak mengapa. Setidaknya kehidupan yang dijalani saat ini adalah sebuah bentuk keshabaran atas makna cinta yang sejati itu. Sebuah bentuk cinta yang lebih dari sekadar kata cinta, yang menurut Anis Matta adalah bentuk pemberian yang hakiki.

“Kalau cinta berawal dan berakhir karena Allah,” lanjut beliau, “Maka cinta yang lain hanya upaya menunjukkan cinta pada-Nya, pengejawantahan ibadah hati yang paling hakiki: Selamanya memberi yang bisa kita berikan, selamanya membahagiakan orang-orang yang kita cintai. Dalam makna memberi itu posisi kita sangat kuat: kita tak perlu kecewa atau terhina dengan penolakan, atau lemah atau melankolik saat kasih kandas karena takdir-Nya. Sebab disini kita justru sedang melakukan sebuah ‘pekerjaan jiwa’ yang besar dan agung: mencintai.”

Secara sederhana, saya mempersepsikan bahwa cinta karena Allah adalah yang seperti itu. Tidak usah terlalu muluk dengan banyak frasa ‘karena Allah’. Namun, cukuplah frasa itu diejawantahkan dalam konsep diri, hati, pikiran, dan tindakan sekaligus tanpa sekalipun terpelanting dari jalur lurus frasa itu. Seperti halnya rukun niat di dalam ibadah tidak perlu diucapkan dengan lantang.

“Ketika kasih tak sampai, atau uluran tangan cinta tertolak, yang sesungguhnya terjadi hanyalah ‘kesempatan memberi’ yang lewat. Hanya itu. Setiap saat kesempatan semacam itu dapat terulang. Selama kita memiliki cinta, memiliki ‘sesuatu’ yang dapat kita berikan, Maka persoalan penolakan atau ketidaksampaian, jadi tidak relevan. Ini hanya murni masalah waktu. Para pecinta sejati selamanya hanya bertanya: ‘Apakah yang akan kuberikan?’ Tentang kepada ‘siapa’ sesuatu itu diberikan, itu menjadi sekunder.”

“Jadi,” ujar  Ustadz Anis Matta, “Tidak hanya patah atau hancur karena lemah. Kita lemah karena posisi jiwa kita salah. Seperti ini: kita mencintai seseorang, lalu kita menggantungkan harapan kebahagiaan hidup dengan hidup bersamanya! Maka ketika dia menolak untuk hidup bersama, itu lantas menjadi sumber kesengsaraan. Kita menderita bukan karena kita mencintai. Tapi karena kita menggantungkan sumber kebahagiaan kita pada kenyataan bahwa orang lain mencintai kita.”

Sayyid Quthb, dalam Risalah ila Ukhti Muslimah, pun memberikan gambaran yang serupa dalam hal pemberian dan pengambilan. Beliau memetaforakannya dari keberanian dirinya untuk menghadapi kematian.

“Aku tidak lagi takut terhadap kematian,” ujarnya, “Meskipun ia datang mendadak. Aku sudah mengambil banyak dari kehidupan ini, yakni ‘sudah memberi’. Adakalanya kamu sulit membedakan antara pengambilan dan pemberian, karena keduanya memberikan pengertian dalam satu alam ruhani. Setiap kali aku memberi, setiap itu pula aku sudah mengambil. Ini bukan berarti ada seseorang yang memberikan sesuatu kepadaku, tetapi maksudku, adalah bahwa aku telah mengambil imbalan atas apa yang aku berikan, karena kepuasan dan kegembiraan yang kudapatkan dengan pemberian itu tidak kurang dari kepuasan dan kegembiraan yang mereka dapatkan.”

Maka, seandainya mencintai itu dimaknai sebagai kesempatan memberi dan diejawantahkan dalam tindakan untuk selalu memberi sesuatu, adanya kekuatan dalam hati bahwa harapan adalah sebuah kesempatan yang datang dan pergi, serta posisi jiwa yang tepat dalam memperlakukan ‘siapa’, maka tidak mungkin ada sayap yang patah.

Terlebih lagi jika sayap yang Tuan dan Nyonya miliki itu adalah sayap yang senantiasa terkepak, yang menahan laju angin dan mengangkangi samuderasamudera, yang menolak bumi dan menopang jasadnya untuk membumbung mengangkasa di langit jiwa, yang menantang matahari dan menembus awanawan kelabu pengundang hujan badai salju. Maka, sayap itu tidak akan pernah patah, selamanya. Bahkan, ia akan mengangkat, melesat, meninggi, menembus alam ruh di petala langit ketujuh, dimana hanya ada bahagia dan cinta dalam mencintai.

13 thoughts on “Sayap yang Terkepak Takkan Pernah Patah

      1. bisa jadi orang yang belum pernah mencintai akan berkata demikian, tapi bagi yang pernah merasakan cinta akan berbeda, baik cinta dalam pernikahan maupun selainnya.

        karena itu, seseorang yang menikahi seseorang, meski punya sejuta kelemahan, tapi cinta sudah tertanam, maka “siapa” itu menjadi “primer”. meski ada seseorang lain yang punya sejuta kebaikan.

      1. noted: poligami buat membangun tim, yaaa… bukan alasan lain 😀

        dan saya gak yakin motivasi poligami cowok jaman sekarang bwt bangun tim #eh 😀

Leave a reply to Abu Saif Kuncoro Jati Cancel reply